Belum tuntas
masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan
oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri
beliau.
Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga
tiba saatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjemputnya –tiga tahun
kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr– untuk memasuki rumah
tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun di antara
istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah
radhiallahu 'anha.
Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga
terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan
apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.
Seorang istri yang menyenangkan
suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan
segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada
Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan banyak keutamaan baginya, di
antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha
mendapatkan ridha Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini. Siapa
pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba
saatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di tempat ‘Aisyah.
Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung
kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah
untuk menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar
mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah, hendaknya
memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.
Ummu Salamah
radhiallahu 'anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun
beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap
tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah radhiallahu 'anha
mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam
permasalahan ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu
dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali
‘Aisyah.”
Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah turut dalam perjalanan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rombongan itu pun singgah di suatu
tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah radhiallahu 'anha merasa kalungnya hilang, sementara
kalung itu dipinjamnya dari Asma’, kakaknya.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu
untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat.
Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para sahabat pun shalat
tanpa wudhu’. Tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.
Melihat kejadian ini, Usaid bin
Hudhair radhiallahu 'anhu mengatakan kepada ‘Aisyah,
“Semoga Allah
memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama
sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari
permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum
muslimin.”
Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang
‘Aisyah radhiallahu 'anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan,
ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyah radhiallahu 'anha pergi untuk
menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk
mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh
seorang pun. ‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu
kembali hingga ia tertidur.
Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’atthal
radhiallahu 'anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’1 dan ‘Aisyah terbangun
mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah
radhiallahu 'anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan
rombongan.
Kaum munafikin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul
menghembuskan berita bohong tentang ‘Aisyah radhiallahu 'anha. Berita itu terus
beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, sedang ‘Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung
jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja ia merasa heran
karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.
Akhirnya berita
bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah radhiallahu 'anha.
‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya.
Beliau pun mengizinkan.
Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini
belum juga turun sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta
pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma dalam
urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyah radhiallahu 'anha, mengharap kejelasan
dari peristiwa ini.
Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah
menurunkan ayat-ayatnya yang membebaskan ‘Aisyah radhiallahu 'anha dari segala
tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. ‘Aisyah radhiallahu 'anha,
wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari atas
langit.
Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu
aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan
membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah
akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu
rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah
membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh
kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat an-Nuur ayat 11 beserta sembilan
ayat berikutnya.
Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke
hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari
terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun
dikuburkan di kamar ‘Aisyah radhiallahu 'anha.
Sepeninggal beliau,
‘Aisyah radhiallahu 'anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga
nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat
dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum
muslimin.
Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita
bagaikan keutamaan tsarid2 atas seluruh makanan.” Bahkan Jibril
‘alaihissalam menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
Tiba waktunya ‘Aisyah radhiallahu 'anha kembali kepada
Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriah dan dikuburkan di
pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya, keharumannya namanya tak pernah sirna
dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah
meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab
Sumber bacaan:
1. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim Al-Imam an-Nawawi
3. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah Al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani
4. Siyar A’lamin Nubala’ Al-Imam adz-Dzahabi
5. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah asy-Syaikh Ibrahim al-’Aly
11 comments
Write commentsumur 6 tahun udah akad nikah yaa ;) istimewanya lagi Allah SWT langsung memberikan petunjuk lewat miimpi klo wanita itu adalah jodonya Nabi Muhammad SAW
ReplyMaaf, saya termasuk yg tdk sepakat dg ini.
ReplyBanyak poin2 baik dr sejarah maupun hadits yg membantah bhwa Rasulullah meminang Aisyah pd 6 th dan menikahinya pd usia 9 th.
Dr beberapa bantahan itu Rasulullah menikahi Aisyah -setidaknya- pd usia 16 th.
Begitu istimewanya Aisyah r.a. ya mas ..., saya baru tahu keistimewaannya di postingan ini, makasih sudah berbagi
Replynggak usah di bantah maz . . .
Replybanyaknya perbedaan refrensi itu memang sudah wajar , , ,
memang orang arab itu usia 9 tahun sudah besar , ,
yang enting kita bisa ambil pelajarannya saja . ..
Sayyidah Aisyah A.S memang adalah salah satu diantara 10 sahabat dan istri yang telah dijanjikan syurga . .
ReplySemoga keteladanan beliau dapat kita ikuti . .
#selamat siang buat adminnya . .mas fiu yang selalu memberi wejangan.
thanks maz
sungguh sosok yang sangat pantas sebagai tauladan umat manusia.. Salam kenal
Replyblogwalking
benar harus menjadi teladan perempuan
Replymas pri @, kalo bsa dikasih referensiny dari buku atau kitab apa ? agar para pembaca lainnya pun ikut menymak, ^_^
ReplyMas Ibnu @ sip .. perbedaan bukan untuk menjdikan kita jadi bertengkar, yg penting bagaimana kita bsa menteladani akhlaq-akhlaqnya...
sama2 mas ...semoga bermanfaat...
Replyselamat malam juga ms ibnu ,,,, terima kasih sudah mampr dsini ... mohon maaf jika datang kesini nggak sy suguhkan kopi hangat ,.. :)
Replysalam kenal jg sob ... :)
ReplyEmoticonEmoticon